Kementerian Perindustrian alias Kemenperin menolak jika standarisasi kemasan rokok mirip dengan kebijakan bungkusan polos. Hal ini merespons rencana Kementerian Kesehatan nan sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang bungkusan rokok.
Plt Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika menilai standar tersebut kudu tetap memberikan ruang merek pada bungkusan rokok sesuai dengan Standar Nasional Indonesia tentang Pengemasan dan Labelisasi. Menurutnya, kebijakan bungkusan polos untuk bungkusan rokok justru membahayakan masyarakat luas.
"UU Kesehatan sudah jelas bahwa bungkusan rokok kudu memberikan edukasi kepada konsumennya. Aturan tersebut tidak bisa dipenuhi dengan kebijakan bungkusan polos tadi," kata Putu dalam Diskusi "Quo Vadis Perlindungan Industri Hasil Tembakau", Senin (29/9).
Aturan standarisasi bungkusan rokok telah diamanatkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 435 PP Kesehatan menetapkan setiap produsen rokok kudu memenuhi standar bungkusan nan terdiri atas kreasi dan tulisan.
Putu menilai masing-masing pabrik rokok telah melalui proses pembangunan identitas dan gambaran nan tertuang dalam kreasi kemasan. Karena itu, Putu menilai pemerintah dapat dibawa ke meja hijau jika standar bungkusan rokok mirip dengan kebijakan bungkusan polos.
"Mudah-mudahan kami tetap mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan mengenai standar bungkusan rokok," katanya.
Wakil Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anggana Bunawan menduga arah standar bungkusan rokok nan besutan Kemenkes adalah bungkusan polos. Sebab, dia memprediksi kebijakan standar bungkusan rokok domestik bakal merujuk pada kebijakan bungkusan di Australia, ialah bungkusan polos.
Anggana menjelaskan dugaan standarisasi bungkusan mengarah ke kebijakan bungkusan polos sesuai dengan PP No. 28 Tahun 2024 lantarn bakal mengatur kreasi dan tulisan.
Anggana mengatakan, kebijakan bungkusan polos telah meningkatkan peredaran rokok terlarangan lintas pemisah di Negeri Kangguru sebesar 320% pada tahun ini dibandingkan capaian 2021. Menurutnya, jumlah rokok terlarangan nan disita setara dengan Rp 47,6 triliun.
"Masyarakat di Australia umumnya mempunyai pendidikan nan lebih tinggi dibandingkan masyarakat lokal. Selain itu, daya beli masyarakat Negeri Kangguru lebih baik. Karena itu, kebijakan bungkusan polos telah jadi momok nan disadari bersama," katanya.
Anggana mengatakan, IHT tidak anti terhadap pengaturan industri melalui regulasi. Namun pengusaha berambisi izin nan diterbitkan kudu hasil dari jalan tengah antara peningkatan kualitas kesehatan nasional dan performa IHT.
Anggana menilai keberadaan IHT di dalam negeri krusial lantaran menyerap nyaris 6 juta tenaga kerja dalam ekosistemnya. "Kami ini unik dan unik Indonesia. Kami juga rakyat, bukan penduduk kelas dua," katanya.
Sedangkan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut sejumlah akibat negatif nan bakal terjadi andaikan pemerintah jadi menerapkan bungkusan rokok polos tanpa merek. Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 182,2 triliun.
Dampak ekonomi tersebut bukan hanya bagi industri rokok, tapi juga industri bungkusan kertas, tembakau, cengkeh, dan lainnya. Selain itu, kehadiran bungkusan rokok polos bakal mendorong peralihan ke rokok ilegal.
"Ini berpotensi menurunkan permintaan produk legal hingga 42,09%," kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam obrolan Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram, Senin (23/9).
Reporter: Andi M. Arief