ARTICLE AD BOX
“Jika ekonomi bertumbuh, maka bayar pajak jadi happy,” ujar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam sebuah kesempatan. Ucapan itu sekilas terdengar sederhana, namun sesungguhnya menyimpan pesan mendalam: pajak bukan semata kewajiban, melainkan instrumen krusial nan menopang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, mari kita jujur. Apakah betul masyarakat Indonesia bayar pajak dengan emosi “happy”? Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pajak kerap dipandang sebagai beban, bukan kontribusi sukarela. Padahal, nyaris semua jasa publik nan dinikmati sehari-hari—dari sekolah murah, rumah sakit nan terjangkau, jalan tol, hingga support sosial—bersumber dari pajak nan kita bayarkan. Pertanyaannya, kenapa persepsi publik terhadap pajak begitu negatif?
Literasi dan Komunikasi Pajak nan Lemah
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya literasi masyarakat tentang finansial negara. Banyak orang tidak tahu bahwa penghasilan aparatur sipil negara, subsidi energi, hingga program support sosial dibiayai oleh pajak. Selama ini, kementerian dan lembaga lebih sering menampilkan programnya seolah sebagai bingkisan dari lembaga masing-masing, bukan dari rakyat nan bayar pajak.
Contohnya dapat dilihat dalam program-program pendukung UMKM. Kementerian Koperasi dan UKM rutin menyalurkan support permodalan maupun pelatihan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan kembang rendah. Para pelaku UMKM sering menganggap support ini sebagai akomodasi nan “diberikan pemerintah”, tanpa menyadari bahwa subsidi kembang KUR sebagian besar berasal dari pajak masyarakat. Alhasil, ketika upaya mereka berkembang, apresiasi hanya tertuju pada kementerian penyelenggara, sementara kontribusi rakyat nan bayar pajak nyaris tak pernah terlihat.
Hal serupa juga terjadi pada program-program sosial. Kementerian Sosial menyalurkan support seperti Program Keluarga Harapan (PKH), support sembako, hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bagi family miskin, support ini seumpama nafas baru untuk memperkuat hidup. Namun jarang sekali ada penjelasan bahwa biaya bansos tersebut sejatinya hasil dari gotong royong nasional melalui pajak. Karena komunikasi nan absen, penerima condong memandang bansos semata sebagai kemurahan hati pemerintah, bukan hasil kontribusi mereka sendiri dan masyarakat lainnya.
Kondisi ini menciptakan kesenjangan persepsi nan berbahaya. Kementerian Keuangan dipandang sebagai “vampir penghisap” duit rakyat, sementara kementerian alias lembaga lain tampil seperti “Sinterklas” nan dermawan. Fenomena komunikasi nan timpang ini akhirnya melahirkan stigma: pemungut pajak adalah tokoh antagonis, sedangkan pembagi program adalah protagonis.
Jika pola komunikasi seperti ini terus berlangsung, jangan minta masyarakat bakal rela bayar pajak dengan sukacita. nan muncul justru rasa enggan, sinis, apalagi perlawanan terhadap tanggungjawab perpajakan.
Pajak dan Fitrah Manusia
Ada perihal nan lebih mendasar. Definisi pajak dalam undang-undang adalah kontribusi wajib nan tidak memberikan faedah langsung kepada pembayar. Sementara teori perilaku manusia menyebut bahwa seseorang hanya bakal terdorong melakukan sesuatu jika dia merasakan faedah langsung.
Kontradiksi ini membikin bayar pajak terasa melawan fitrah manusia. Secara psikologis, orang condong lebih senang menerima support daripada memberi kontribusi. Maka, wajar jika pajak lebih sering dipersepsikan pahit.
Namun, masalahnya bukan pada pajak itu sendiri, melainkan pada langkah kita mengomunikasikannya. Jika pajak terus diposisikan sebagai tanggungjawab tanpa manfaat, stigma negatif bakal tetap melekat. Tetapi jika dikemas sebagai investasi sosial bersama—gotong royong modern untuk membangun negeri—maka pajak bisa menjadi simbol kontribusi dan kebanggaan.
Membangun Komunikasi Pajak nan Inklusif
Inilah saatnya pemerintah mengubah strategi komunikasi pajak. Pajak tidak boleh hanya dibicarakan di meja instansi Direktorat Jenderal Pajak. Komunikasi kudu dilakukan secara menyeluruh, sejak duit dipungut hingga kembali datang dalam corak jasa publik.
Setiap kementerian, lembaga, apalagi pemerintah wilayah perlu menegaskan bahwa program mereka dibiayai dari pajak. Bayangkan jika pada setiap iklan program support sosial, rumah sakit daerah, alias pembangunan infrastruktur, tertera jelas tulisan: “Dibiayai dari pajak Anda.” Pesan sederhana namun kuat ini bakal menghubungkan kembali masyarakat dengan kontribusi mereka.
Lebih jauh, kesadaran pajak perlu diinklusikan di seluruh aparatur negara. Selama ini, duta pajak hanya identik dengan pegawai DJP. Padahal, setiap ASN, setiap guru, setiap perawat di rumah sakit pemerintah sejatinya bisa menjadi duta pajak dengan menceritakan bahwa penghasilan dan akomodasi mereka berasal dari kontribusi masyarakat.
Tak kalah krusial adalah kerjasama lintas sektor. Pemerintah pusat, pemda, BUMN, dan media massa perlu bahu membahu membangun narasi kolektif tentang pajak. Media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menampilkan kisah nyata gimana pajak telah membantu masyarakat: dari petani nan menerima subsidi pupuk, pelajar nan memperoleh beasiswa, hingga korban musibah nan mendapat support logistik.
Strategi komunikasi nan inklusif ini bakal mengikis stigma “pajak sebagai beban” dan menggantinya dengan persepsi “pajak sebagai kontribusi”. Jika berhasil, masyarakat tidak lagi merasa dirugikan, melainkan justru bangga ikut berkedudukan dalam pembangunan.
Dari Beban ke Sukacita
Membayar pajak memang tidak pernah mudah. Selalu ada rasa enggan ketika sebagian penghasilan kudu diserahkan kepada negara. Tetapi, dengan komunikasi nan tepat, emosi itu bisa diubah. Bayar pajak tidak lagi dianggap sebagai kehilangan, melainkan kontribusi nyata untuk sekolah anak-anak, pelayanan kesehatan, pembangunan jalan, hingga support bagi saudara-saudara nan membutuhkan.
Di sinilah relevansi pernyataan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa: “Jika ekonomi bertumbuh, maka bayar pajak jadi happy.” Pertumbuhan ekonomi memang bakal memperluas pedoman pajak, tetapi nan lebih krusial adalah pertumbuhan kesadaran kolektif masyarakat bahwa pajak adalah investasi bersama.
Pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan simbol gotong royong bangsa. Ia adalah darah nan mengalirkan kehidupan pada republik ini. Dengan komunikasi nan inklusif dan terintegrasi, kita bisa mengubah wajah perpajakan: dari momok menakutkan menjadi kebanggaan bersama. Dan saat itu tiba, bayar pajak betul-betul bisa dilakukan dengan “happy”.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim alias sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.